Rabu, 21 Desember 2011

Be a Modelling Girl




“Hancur! Zara tamat!”
Perkataan sinis itu terlempar dan menusuk kepalaku, Jemmie memang semakin menyebalkan. “Permainanmu semakin sumbang!”
Dia hanya bisa berkomentar dan terus mengkritik, telingaku panas mendengarnya. Gitar yang semula berada di pelukanku langsung kutaruh di lantai.
“Asal kau tahu saja, main gitar tanpa perasaan sama saja tak ...”
Brak!
Buku tebal, lebih tepatnya buku musik setebal 10 cm melayang tepat di wajah sang komentator. Amarahku sudah tak bisa kutampung, tukang mengkritik saja dia!
“Apa yang kau lakukan? Bodoh!” bentaknya. Lorry semakin bingung, bahkan adik kelasku pun ikut melongo melihat peristiwa ini
Aku tak kalah hebat membalas pernyataan tersebut, “Jemmie pengecut, bodoh, goblok, ingusan, kate, ...”
“Serampangan!” dia balik menyerang. Aku langsung meninggalkan mereka semua, keluar dari ruang musik tanpa izin terlebih dahulu.
Sore ini, club guitar band memang tidak pulang sejak bel bunyi. Leader menyuruh anggotanya untuk langsung latihan tanpa ada yang boleh pulang. Hal ini membuat para anggotanya menahan lapar dua jam lamanya.
                                                            ---
Philie yang melihat diriku sedang nganggur langsung menarik tanganku tiba-tiba. “Ikut aku sebentar!”
Aku langsung menampakkan wajah bingung yang amat bingung. Tiba-tiba saja ditarik olehnya.
“Apa maksudmu Phil?”
Philie masih terus menarik tanganku dan berlari kecil keluar gedung sekolah dengan tangan kiri membawa box besar, “Kebetulan sekali aku bertemu denganmu, aku akan menjadikanmu model foto untuk pameran nanti.”
Aku mengernyitkan kening, Philie menjelaskan sembari terus menarik tanganku. “Buat ajang bakat nanti, aku mengambil jurusan Senior Filmograph. Tapi sebelumnya, aku harus menyerahkan terlebih dahulu foto hasil karyaku. Untuk itu, aku ingin memotret kamu yang sedang bermain gitar disini ...”
Dia menghentikan langkahnya, aku melihat suasana di sekitarku sekarang, mataku setengah terbelalak, “Loh, ini kan gedung elemantary AKIS BS yang mau direnovasi? Kita tidak boleh masuk ke lingkungan ini!” tegasku. Philie seakan pura-pura tak mendengar, ia menyuruhku masuk melewati sebuah lubang yang terbuat dari bongkahan besi.
Aku merangkak masuk dan berdiri di dalam area renovasi. Philie berjalan menuju sebuah gedung yang masih utuh belum direnovasi, perlahan ia membuka pintu kaca dan menarik lenganku. “Tenang saja, kalau sore seperti ini, para pekerja renovasi sudah mau pulang. Jadi bisa tenang disini.” Jelas Philie seraya mengambil box perlengkapan kamera SLR-nya.
Pandanganku tertuju pada sebuah jendela lebar, dengan ukuran 6 m x 4 m yang mengarah ke barat. Terbentang sunset yang indah sekali, langit dengan lembayung berwarna jingga, kuning, merah, ungu dan biru berpadu membentuk gradasi yang menyatu hidup. Pohon kurma tanpa buah dan bunga musim dingin bermekaran penuh. Tempat ini bukanlah area renovasi, melainkan seperti sebuah gedung dengan taman yang ditinggal dan tak terawat saja. Suasana gedung yang lembab dan terang sunset tanpa lampu, serta lantai putih yang tampak berdebu dan dinding yang keropos.
Dan sebuah benda yang tak asing lagi, sebuah gitar kayu tersandar di dinding keropos dan berdiri dengan tegak. Membuatku teringat pada beberapa menit yang lalu saat Jemmie mengatakan permaianan gitarku ‘hancur’. “Argh ...! Jemmie  kurang ajar!!!!” teriakku, Philie yang sedang menggantungkan kameranya hampir melakukan kesalahan fatal jika ia tak menggenggam SLR-nya kuat-kuat. “Adikku kenapa?”
Aku langsung memalingkan pandangan kearah Philie, “Sewot, tukang komentator dan suka mengkritik dengan kalimat yang kasar!”
Philie tersenyum kecut dan mengambil sesuatu dari dalam box besar yang ia bawa tadi.
“Oke, kau mau mengenakan pakaian ini. Tinggal kau double-in saja.” Tawar Philie sembari menunjukan sebuah jaket hijau yang girlie selutut. Aku tak menolaknya, kuambil dan langsung kukenakan. Sangat pas dengan seragam celana hitamku dan kerudung putih.
Philie menatapku dari ujung kaki sampai kepala dan berteriak, “Cocok! Pas sekali dengan tubuhmu yang mungil ...”
Aku tersenyum sendiri melihat sosokku di depan kaca jendela lebar. Imut, itulah penilaianku terhadap diriku sendiri.
Philie memberiku arahan, ia menyuruhku bergaya dengan membawa lima buku tebal dan memakai headphone. Dengan background koridor lusuh yang bersinar sunset, membuatku mengagumi hasil jepretannya. Lima menit berlangsung, Philie sudah mengambil tujuh foto hasil jepretannya sendiri.
“Nah, sekarang tinggal mengambil foto kau yang sedang bermain gitar.”
Aku langsung menolak dengan alasan lapar, aku benci sekali dengan gitar. Semenjak peristiwa tadi, aku jadi jera, aku tak mau dikomentari terus, aku benci dengan gitar dan Jemmie, benci sekali!
Philie membalikan badan dan mengambil sebuah dus kue bertuliskan SWEET MOMENT CAKE. Dia mempersilakanku untuk memakan semua kue yang ada dalam dus itu.
Sebelum makan, aku sempat terkagum dengan penampilan kue manis nan cantik yang tersusun rapi, sayang rasanya jika dimakan. Melihat ekspresiku yang seperti orang menahan lapar, Philie langsung tertawa, “Makanlah Zara, kue itu memang untukmu. Sebelumnya aku sempat berpikir, kalau-kalau kau lapar disaat pengambilan foto. Ayo makanlah, jangan ragu-ragu. Itu merek terkenal disini.”
Setelah dua menit menatap dengan menahan liur, aku langsung mencomot cream cake dengan tampilan lima buah cherry dan krim vanilla diatas soft cake, serta kue keju yang lembut. Ah, tak salah jika aku tak menolak tawaran Philie. Aku memang tergila-gila dengan kue, enak banget. Rasanya manis, kecut dan lembut. Aku menyadari kalau dari tadi Philie mengambil banyak gambarku saat sedang makan kue. Biarlah, yang penting kue ini kuhabiskan dulu.
................

                                           From: X-Boy n' Qatar (rencana novel kedua setelah "Sound of Aida")
Cuplikan novel diatas merupakan rencana pembuatan novelku berikutnya, karyaku, Aldeka Kamilia.
Bagaimana menurut para pembaca? yah, sekiranya aku masih ragu-ragu dengan jalan ceritanya, yang punya saran, kritik dan masukan silakan di ekpresikan...  ^_^

3 komentar:

  1. Ada saran untuk penulis...kenapa qatar? latar belakang pengambilan lokasi perlu dijelaskan juga dong dalam novelnya.
    DItunggu novelnya ya.

    BalasHapus