Masa SMP yang dialamai
Zora telah
lewat, sekarang dia memasuki masa SMA. Masa remaja, tapi jiwanya masih merasa
dia adalah seorang anak TK yang selalu berkhayal tinggi. Membaca literature
atau sastra membuatnya sering berkhayal dan mengerti berbagai bahasa. Siapa
yang menyangka, dia adalah siswi SMA yang paham lima bahasa asing, bahasa
inggris, bahasa perancis, bahasa jerman, bahasa jepang, dan bahasa belanda, ditambah lagi
dengan bahasa ibunya, bahasa jawa krama.
Bakatnya itu,
tidak pernah diketahui guru-guru dan kawannya. Karena ada satu alasan yang
sepertinya tidak boleh dibocorkan, dia adalah seorang tourist guide. Pekerjaan
sambilannya yang telah membuatnya banyak berubah. Pekerjaan itu baginya seperti
sebuah biji yang nantinya tumbuh besar dan melekat di jiwanya. Ia benar-benar
sudah menyatu dengan pekerjaannya itu. Kalau ada request dari kantor tourist
guide pusat, biasanya ia bisa mendapat bayaran yang cukup tinggi. Dan itu menguntungkannya,
karena ia bisa membayar biaya SMA-nya yang cukup mahal dengan uang
penghasilannya sendiri. Ibunya tidak melarangnya, beliau sangat mendukungnya,
karena beliau senang melihat putrinya mandiri dan bisa berbicara banyak bahasa.
Karena jadi tourist guide itu lah dia juga punya banyak teman dari luar.
Sallymon Kopper, temannya dari inggris pernah
berjalan-jalan mengelilingi kota Pekalongan bagian utara, tempat yang selalu
dianggap aneh, disana mungkin ada rumah berlantai dua atau tiga namun tidak
bertingkat. Entah seperti apa bayangannya, yang jelas Sallymon
terbengong-bengong melihat rumah dengan lantai yang berlapi-lapis dan lebih
terlihat seperti rumah pangung, lantai berlapis itu sebagai pencegah banjir
jika laut pasang.
Ada juga
seorang kakek tua dari Belanda yang waktu itu datang ke Pekalongan untuk
melihat-lihat cara pembuatan batik dan melakukan penelitian sederhana
tentang perbedaan batik-batik yang ada di Indonesia, dan beliau memuji jika
batik terbaik memang hanya ada di Pekalongan.
Juga
seorang turis bersaudara dari Amerika bernama Maddy dan Traddy yang sangat
tersihir dengan Pemakaman Sapuro. Mereka tersihir karena mungkin pemakaman yang
satu ini hanya berada disini. Pemakanan kanan-kiri jalan yang menyatu dengan
jalan, bagaimana cara membayangkannya, yang jelas jika penghuni makam itu bisa
berdemo, mungkin para arwah akan unjuk rasa bahwa mereka merasa tidak nyaman
karena pemakaman itu nyaris menyatu dengan jalan yang selalu ramai dilewati
sepeda motor. Maddy dan Traddy benar-benar merasa pemakanan itu seperti sebuah keajaiban
dunia.
Memang
kebanyakan turis yang datang kemari hanya ingin melihat proses pembuatan
batik, semua tentang batik, dan hal-hal aneh seperti rumah dengan lantai
berlapis-lapis dan pemakaman yang menyatu dengan jalan ramai.
Dan untuk
masalah menjelaskan batik, Zora juga sangat pandai dalam hal itu. Tak perlu
dipungkiri, ibunya pemilik butik batik di Pekalongan. Sebagai anak dari peseni batik, ia tahu
segalanya, mulai dari menyiapkan alat dan bahan sampai ke tahap terakhir.
Bahkan Zora pernah membuat secarik batik diatas kain mori berukuran 100 cm x 50
cm dan batik hasilnya itu sekarang dibeli dan dipajang di Museum Batik.
Tak
banyak yang mengenal keberadaan butik batik milik ibunya Zora, karena Zora terlalu pendiam dan tak pernah mempromosikan
batik-batik karya ibunya kepada teman-temannya. Dan mungkin juga karena industri batik
milik ibunya masih sangat sederhana.