Senin, 01 April 2013

Batik no Jinsei



Masa SMP yang dialamai Zora telah lewat, sekarang dia memasuki masa SMA. Masa remaja, tapi jiwanya masih merasa dia adalah seorang anak TK yang selalu berkhayal tinggi. Membaca literature atau sastra membuatnya sering berkhayal dan mengerti berbagai bahasa. Siapa yang menyangka, dia adalah siswi SMA yang paham lima bahasa asing, bahasa inggris, bahasa perancis, bahasa jerman, bahasa jepang, dan bahasa belanda, ditambah lagi dengan bahasa ibunya, bahasa jawa krama.
Bakatnya itu, tidak pernah diketahui guru-guru dan kawannya. Karena ada satu alasan yang sepertinya tidak boleh dibocorkan, dia adalah seorang tourist guide. Pekerjaan sambilannya yang telah membuatnya banyak berubah. Pekerjaan itu baginya seperti sebuah biji yang nantinya tumbuh besar dan melekat di jiwanya. Ia benar-benar sudah menyatu dengan pekerjaannya itu. Kalau ada request dari kantor tourist guide pusat, biasanya ia bisa mendapat bayaran yang cukup tinggi. Dan itu menguntungkannya, karena ia bisa membayar biaya SMA-nya yang cukup mahal dengan uang penghasilannya sendiri. Ibunya tidak melarangnya, beliau sangat mendukungnya, karena beliau senang melihat putrinya mandiri dan bisa berbicara banyak bahasa. Karena jadi tourist guide itu lah dia juga punya banyak teman dari luar.
 Sallymon Kopper, temannya dari inggris pernah berjalan-jalan mengelilingi kota Pekalongan bagian utara, tempat yang selalu dianggap aneh, disana mungkin ada rumah berlantai dua atau tiga namun tidak bertingkat. Entah seperti apa bayangannya, yang jelas Sallymon terbengong-bengong melihat rumah dengan lantai yang berlapi-lapis dan lebih terlihat seperti rumah pangung, lantai berlapis itu sebagai pencegah banjir jika laut pasang.
Ada juga seorang kakek tua dari Belanda yang waktu itu datang ke Pekalongan untuk melihat-lihat cara pembuatan batik dan melakukan penelitian sederhana tentang perbedaan batik-batik yang ada di Indonesia, dan beliau memuji jika batik terbaik memang hanya ada di Pekalongan.
Juga seorang turis bersaudara dari Amerika bernama Maddy dan Traddy yang sangat tersihir dengan Pemakaman Sapuro. Mereka tersihir karena mungkin pemakaman yang satu ini hanya berada disini. Pemakanan kanan-kiri jalan yang menyatu dengan jalan, bagaimana cara membayangkannya, yang jelas jika penghuni makam itu bisa berdemo, mungkin para arwah akan unjuk rasa bahwa mereka merasa tidak nyaman karena pemakaman itu nyaris menyatu dengan jalan yang selalu ramai dilewati sepeda motor. Maddy dan Traddy benar-benar merasa pemakanan itu seperti sebuah keajaiban dunia.
Memang kebanyakan turis yang datang kemari hanya ingin melihat proses pembuatan batik, semua tentang batik, dan hal-hal aneh seperti rumah dengan lantai berlapis-lapis dan pemakaman yang menyatu dengan jalan ramai.
Dan untuk masalah menjelaskan batik, Zora juga sangat pandai dalam hal itu. Tak perlu dipungkiri, ibunya pemilik butik batik di Pekalongan. Sebagai anak dari peseni batik, ia tahu segalanya, mulai dari menyiapkan alat dan bahan sampai ke tahap terakhir. Bahkan Zora pernah membuat secarik batik diatas kain mori berukuran 100 cm x 50 cm dan batik hasilnya itu sekarang dibeli dan dipajang di Museum Batik.
Tak banyak yang mengenal keberadaan butik batik milik ibunya Zora, karena Zora terlalu  pendiam dan tak pernah mempromosikan batik-batik karya ibunya kepada teman-temannya. Dan mungkin juga karena industri batik milik ibunya masih sangat sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar